Kirimkan seiris dagingku untuk Ratu Wihelmina
Senen, 18 Desember 2005, kira-kira pk. 13 sesudah menghadiri Mubes Gebu Minang ke IV, saya (usia 61.5 th) duduk sendirian di bangku panjang, di simpang tigo Muaro Kalaban (persimpangan jalan Trans Sumatera untuk menuju kota Sawah Lunto) menunggu bus AKAP jurusan Padang-Jakarta.
Sambil menunggu, saya ingin mengobrol dengan rakyat badarai, untuk mencocokkan informasi yang didapat selama Mubes kemarin.
Tak banyak orang lain di situ, kecuali seorang calo bus yang baik hati dan beberapa tukang ojek, sedangkan lainnya adalah para penumpang jarak dekat di kabupaten Sawahlunto-Sijunjuang yang berganti bus atau naik ojek tiap sebentar.
Karena tak ada kawan maota, maka muncul ingatan kepada buku yang pernah saya baca kira-kira duapuluh tahun yang lalu. Buku itu menceritakan pengalaman pribadi seorang pelaku pemberontakan Silungkang 1927. Ditulis oleh pelakunya sendiri yaitu Bapak Abdul Muluk.
Di buku tersebut diceritakan secara mendetail bagaimana raso emosi yang menguasai peserta rapat persiapan di Ngalau Basurek yang mengawali pemberontakan.
Untuk diketahui kita semua, bahwa pemberontakan tersebut secara organisatoris tidak disetujui oleh pimpinan Serikat Rakyat di Pd. Panjang maupun oleh Tan Malaka selaku pimpinan nasionalnya. Oleh sebab itu, pemberontakan ini adalah murni perlawanan anak-nagari terhadap kolonialis Belanda.
Selanjutnya cerita tentang ketahanan iman alm. Kamaruddin Mangguluang dkk. saat menghadapi tiang gantungan di pasar Silungkang.
Sebelum menaiki tiang gantungan, dengan keyakinan yang teguh, tanpa penutup mata Kamaruddin Mangguluang, salah seorang pimpinan pemberontakan, meminta seiris daging jenazahnya agar dikirimkan kepada Wihelmina, ratu Belanda.
Permintaan ini, menyiratkan pesan untuk kerajaan Belanda yang selama ini telah menghisap darah-daging anak-nagari dan selanjutnya makanlah juga bangkaiku.
Almarhum juga menolak ulama yang disediakan untuk mendampingi kematiannya.
Ulama itu dianggapnya sebagai kaki tangan Belanda, Allahu akbar, Allahu akbar...........
Januari tanggal satu, tahun1927, pukul 11 malam, ketika itu musim penghujan, udara dingin sekali. Dalam kondisi demikian, barisan demi barisan para pejuang (sehari-hari mereka bekerja sebagai petani atau panggaleh di kampuangnya) dari nagari-nagari Silungkang, Taruang-taruang, Siaro-aro serta nagari-nagari lain di sekitar dengan berjalan kaki menuju kota tambang Sawahlunto.
Mereka berjalan tanpa alas kaki di jalanan yang belum beraspal seperti sekarang ini.
Semuanya pria berusia antara 17 sd 50 tahun, sebagian mengenakan pakaian silat dan yang lain berpakaian seadanya saja, layaknya pakaian petani kala itu.
Setiap orang mempersenjatai diri-sendiri secara sukarela sesuai dengan kemampuannya masing-masing, membawa klewang, tombak, rudus, belati, senapang balansa, granat buatan sendiri dengan tujuan hanya satu, yaitu merebut kota Sawahlunto dari tangan penjajah Belanda.
Entah raso senasib-sepenanggungan atau raso berkaum-bernagari yang memotivasi ribuan pemuda kampung yang belum pernah berlatih perang tersebut menuju kota Sawahlunto, sulit bagi kita memahaminya dengan pemikiran jaman sekarang.
Satu-satunya imbalan atau bayaran tak langsung yang didapat para anggota barisan ialah makan malam dalam perjamuan besar yang disediakan oleh Sampono Kayo, saudagar kaya di rumahnya, di pangkal titian, di nagari Silungkang sebelum berangkat perang.
Mungkin pula, lokasi tempat duduk saat ini adalah bekas gardu jaga polisi Belanda yang membiarkan barisan pertama atau barisan inti (berjumlah lk. 180 pemuda) yang dipimpin oleh Abdul Muluk dan Abdulrahman melewati pos jaga tersebut.
Membiarkan barisan inti lewat tanpa gangguan, sambil memberitahukan dengan telepon ke Sawahlunto adalah taktik Belanda ketika itu untuk mengepung pemberontak dari arah belakang di tengah perjalanan Muaro Kalaban menuju Sawahlunto. Kesalahan fatal ini baru disadari di kemudian hari oleh pelaku yang merencanakan perlawanan tersebut.
Terbayang dalam khayalan saya bagaimana para anggota barisan inti kucar-kacir lari menyelamatkan diri ke jurang di pinggir jalan; dan pemuda Tongku, anggota barisan inti yang mati ditembak Belanda karena tak mau mengangkat tangan serta Abdulmuluk dalam keadaan luka parah dilemparkan ke atas truk, seperti melemparkan karung goni.
Serdadu Belanda menghadang barisan inti dari jurusan kota Sawahlunto.
Penyerangan ke kota Sawahlunto telah diketahui oleh Belanda sebelumnya. Sersan Rumuat dan Sersan Mayor Pontoh anggota KNIL yang berpihak kepada SR yang dipersiapkan membantu pemberontakan dalam kota, telah ditangkap sebelum penyerangan dimulai.
Dalam keadaan terkepung, para anggota barisan inti ditangkapi satu-persatu, sedangkan di tempat lainnya di sekitar kota Sawahlunto beberapa hari/minggu kemudian para pemberontak tetap mengadakan perlawanan sengit.
Yang sangat dikenal ialah perlawanan General Abdul Munaf dan Dt. Bijo Dirajo yang sempat menghancurkan dua truk serdadu Belanda di malam buta di dekat viaduct antara nagari Tj. Ampalu dan nagari Pamuatan. Untuk mengenang peristiwa tersebut pemerintah Hindia Belanda menaikkan bendera setengah tiang.
Selanjutnya ribuan dari anggota pergerakan rakyat dari seluruh pelosok Sumatera Barat dikirim ke penjara-penjara di Jawa-Madura atau penjara-alam, nun jauh di sana, di Boven Digul di mana kanibalisme masih belum hilang.
Sejarah mencatat peristiwa besar ini dengan sebutan Pemberontakan Silungkang, karena di nagari itulah diadakan persiapan/perencanaan pemberontakan tersebut. Dan kini bukit-bukit di hadapan saya, adalah saksi bisu yang mengalami peristiwa penting dalam kisah panjang bangsa kita memperjuangkan kemerdekaan delapan puluh tahun yang lalu.
Ambo manumpang duduak Mak. Tiba-tiba saja seorang ibu muda berumur sekitar 25 th. menegur saya. Silakan ! Jawab saya sambil tersentak dari lamunan panjang......!
Dia duduk di samping sambil menggendong bayinya yang terus menangis sembari menuntun anak perempuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar