Laman

Sejarah Keraton Yogyakarta


Awal dipilihnya lokasi ini sebagai pusat pemerintahan Mataram Islam tercatat dalam kitab Babad. Alkisah saat Sinuwun Mangkural Amral berkuasa dari tahun 1677-1703, beliau mendapat wangsit yang menyiratkan bahwa wahyu keraton Kartasura telah pindah ke hutan Pabringan di Yogyakarta. Menurut wangsit tersebut, di tempat ini Sinuwun mendirikan bangunan benteng calon keraton yang diberi nama Garjitawati yang berarti bisikan hati. Setelah beliau mangkat, oleh penerusnya Paku Buwana I (1703-1719), nama Garjitawati diubah menjadi Ngayugyakarta. Secara harfiah kata Ngayugya atau Ngayudya berarti maksud baik dan kerta artinya bertindak. Dengan demikian Ngayugyakarta dimaksudkan sebagai bertindaklah demi tujuan yang baik.

Pembangunan fisik menjadikan Ngayugyakarta sebagai keraton dipercepat oleh peristiwa perjanjian Gianti, 13 Februari 1755, yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Raja pertama Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I merancang sendiri bentuk bangunan keraton ini pada tahun 1756 atau tahun 1681 Jawa. Pembangunan fisik pertama selesai pada tahun 1682 Jawa ditandai dengan sengkelan memet: Dua ekor Naga yang berbelitan dengan kalimat Dwi Naga Rasa Tunggal. Sengkelan ini terdapat pada Baturana Kemagangan dan Baturana Pintuger-bang Gadhungmlathi Kemandhungan selatan.


Dengan luas bangunan mencapai 14.000 meter persegi, setiap bangunan Keraton Yogyakarta mengandung makna filosofi dan simbol kehidupan manusia. Sesuai dengan kosmologi Hindu Jawa tentang Jagad Purana yang berpusat pada suatu benua bundar Jambudwipa yang dikelilingi tujuh lapis daratan dan samudera maka keraton dibagi menjadi 7 bagian.

Lingkungan I adalah alun-alun utara sampai Siti Hinggil utara, lingkungan II adalah Keben atau Kemandungan utara, lingkungan III Siti Manganti, lingkungan IV merupakan Pusat Keraton, lingkungan V adalah Kemagangan, lingkungan VI meliputi Kemandungan kidul dan lingkungan VII adalah alun-alun selatan sampai Siti Hinggil selatan.

Kini, di dalam keraton terdapat museum Sultan Hamengku Buwono IX. Di tempat ini bisa dilihat beberapa peninggalan Sultan yang terkait dengan perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Masih dalam lingkungan keraton, berseberangan jalan dengan pintu masuk terdapat museum kereta kuda keraton. Di sini bisa disaksikan deretan kereta kuda milik keraton yang bernilai seni dan sejarah tinggi. Salah satunya Kyai Garudayekso buatan Belanda tahun 1861 yang khusus digunakan untuk upacara penobatan Sultan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...